Senin, 12 Juli 2010

Bonek vs Aremania


Dulu saya pernah buat Artikel tentang perseturuan Viking vs The Jack, sekarang saya kembali lagi dengan Bonek vs Aremania, selamat membaca

Hari ini persepakbolaan nasional sudah mulai menapak maju, dimana setiap klub sepakbola yang ada dibawah naungan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) dibina untuk lebih profesional. Bentuk profesionalitas itu oleh PSSI dituangkan dalam format baru Liga Indonesia, dimana sejak tahun 1994 kompetisi yang sebelumnya terbagi dua disatukan dalam konsep Liga Indonesa dengan kasta tertinggi terletak pada Divisi Utama. Setelah berganti-ganti konsep dan format kompetisi, akhirnya pada tahun 2008 Divisi Utama Liga Indonesia berubah menjadi Indonesian Super League. Proses pembinaan kompetisi beserta klub-klub yang ada didalamnya diharapkan mampu membuat iklim sepakbola di Indonesia menjadi lebih modern dan mampu menelurkan bibit-bibit baru pemain asli Indonesia yang lebih berkualitas.



Kemajuan persepakbolaan nasional tentu harus diikuti oleh komunitas suporter yang menjadi basis pendukung sebuah klub sepakbola. Karena adalah sebuah omong kosong apabila sebuah klub sepakbola itu mampu bertahan tanpa dukungan suporter yang ada dibelakangnya. Tetapi sayangnya sudah menjadi rahasia umum bahwasanya persepakbolaan Indonesia dikenal akan kerusuhan dan permainan yang menjurus kasar. Kerusuhan demi kerusuhan, entah itu akibat ketidakdewasaan suporter atau provokasi ofisial pertandingan kepada suporter menjadi cerita lama dalam dunia persepakbolaan Indonesia. Konflik Jakarta-Bandung, Semarang-Jepara, Jogja-Solo, dan Malang-Surabaya menjadi cerita pasti mengenai aroma panas dalam konflik suporter di Indonesia.Belum dewasanya suporter di Indonesia tentu menjadi penghambat bagi pengembangan profesionalitas klub-klub di Indonesia. Aksi anarkis yang dilakukan oleh oknum suporter menjadi salah satu faktor lambatnya pengembangan profesionalitas klub Indonesia. Belajar dari kasus rasisme Aremania beberapa saat yang lalu tentu menjadi sebuah pelajaran berharga bagi seluruh elemen suporter yang ada. Kerugian sebesar hampir 1 miliar rupiah bagi Arema tentu menjadi sebuah permasalahan tersendiri. Arema yang merupakan klub profesional tanpa dukungan dana APBD tentu kesulitan membayar gaji pemain dan lainnya. Padahal skala permasalahan baru sekitar denda dan hukuman, belum pada level anarkisme tingkat tinggi seperti perusakan stadion dan beberapa fasilitas, kerusuhan antar-suporter, hingga aksi-aksi kejahatan yang melibatkan komunitas suporter.

Salah satu pertarungan suporter yang paling sering disorot oleh media massa adalah rivalitas Aremania dan Bonek. Dua elemen suporter dari Arema Indonesia dan Persebaya Surabaya ini memiliki tensi rivalitas yang sangat tinggi, dimana perseteruan antar kedua elemen suporter ini tak jarang berakhir dengan bentrokan, kerusuhan, kerusakan material, hingga jatuhnya korban jiwa. Ekspresi saling benci keduanya juga tertumpah ketika mendukung kesebelasan masing-masing, walaupun yang dihadapi adalah tim sepakbola selain Arema Indonesia atau Persebaya Surabaya.

Konflik Aremania melawan Bonek sudah menjadi cerita lama dalam diskusi antar-suporter di Indonesia. Pertarungan yang sudah mendarah-daging dalam kedua elemen suporter tersebut menjadi bumbu pedas dalam forum antar-suporter. Walaupun belum ada yang pernah memfilmkannya layaknya film Romeo-Juliet, tetapi aroma panas selalu terasa dalam kehidupan sehari-hari warga Malang dan Surabaya. Tidak jarang ditemui di rumah seorang Aremania segala atribut Bonek menjadi kain lap, sementara di Surabaya segala atribut Aremania menjadi keset.

Aroma panas kedua elemen ini tentu menarik untuk dikaji dan diteliti lebih lanjut, karena sifat persaingannya yang begitu kental dan sudah mendarah-daging. Belum lagi pembentukan iklim sepakbola Indonesia ke arah modern tentu harus mewaspadai satu hal yang kini masih menjadi kontroversi: industri sepakbola. Modernisasi sepakbola secara tidak langsung membawa dunia sepakbola ke arah industri, dimana pada akhirnya kapital juga ikut bermain dalam menentukan suasana dan atmosfir sebuah pertandingan. Bukan tidak mungkin beberapa peristiwa yang berkaitan dengan sepakbola Indonesia hari ini berkaitan erat dengan suasana pasar ekonomi.

Selain dari perspektif industri sepakbola, tentu konflik-konflik yang timbul juga tidak luput dari permasalah sosial dan budaya dalam sebuah masyarakat. Masalah hegemoni dan pengakuan akan ‘the one and the best’ juga menjadi salah satu permasalah konflik suporter Indonesia. Persoalan chauvinisme dan fanatisme dalam sebuah masyarkat juga tidak dapat dihilangkan sebagai faktor-faktor pemicu konflik. Belum lagi soal dendam yang berasal dari peristiwa yang terjadi sebelumnya. Begitu banyak permasalahan yang timbul dalam masyarakat sehingga terbawa dalam kancah sepakbola membuat stadion masih belum menjadi tempat yang nyaman dalam menikmati pertandingan sepakbola.

Dengan mempelajari proses historis perseteruan kedua kelompok suporter ini diharapkan adanya pembelajaran serta solusi agar konflik-konflik yang terbangun menjadi sportif dan tidak anarkis. Pengkajian akan sebuah konflik dengan memandang dari perspektif sosiologi –dimana masyarakat dan kondisi kultural akan menjadi objek yang dikaji– diharapkan akan timbul sebuah mediasi entah itu berupa negoisasi atau yang lainnya. Dengan begitu posisi suporter sebagai sebuah pendukung klub akan terjadi hubungan timbal balik dengan klub yang didukung. Selain itu diharapkan pula perdamaian antar-suporter sepakbola yang ada di Indonesia dapat terjadi.