Begitulah kata-kata Mila Ortafuncha kepada Ansha Barka. Sudah sebulan ini mereka intens berbalas surat melalui merpati pos. Satu bulan yang lebih dari cukup untuk mengenal satu sama lain meskipun kedua nya berada dalam jarak yang sangat amat jauh serta belum pernah sekalipun bertatap muka. Goresan tinta kiranya sudah cukup untuk mengenal satu sama lain. Makanan kesukaan sampai baju apa saja yang biasa dipakai Mila Orthafuncha semuanya sudah ada di ingatan Ansha Barka, begitupun sebaliknya. Tak lupa kedua nya menyisipkan foto-foto satu sama lain di dalam surat yang dikirimnya. Surat demi surat silih berganti terkirim, bulan demi bulan berlalu dengan cepat, Mila Orthafuncha menunggu, menunggu sesuatu dari Ansha Barka, pernyataan cinta dan sayang. Pernyataan yang ditunggu itu pun akhirnya tersampaikan melalui surat, surat yang ditulis dengan penuh rasa cinta dan suka cita. Senyum mengembang di bibir Mila Orthafuncha, segera dibalasnya surat itu dengan ungkapan suka cita pula, Ansha Barka bagai melayang - layang ketika membaca balasan surat itu. Begitulah, kemudian hari-hari mereka menjadi penuh warna dan suka cita.
Hari demi hari berganti, yang ada hanya ada tawa dan suka cita. Semua indah penuh warna meskipun hanya lewat goresan tinta tanpa bertatap muka. Ansha Barka begitu menikmati hari-hari bersama Mila Orthafuncha. Begitu menggebu-gebu nya dia menunggu surat balasan tiba, sungguh bahagia. Pandangan masa depan tak luput dari bahasan keduanya, apa yang akan dilakukan jika bertemu sampai menamai anak-anak mereka kelak. Sungguh menggelikan memang, tapi begitulah adanya. Percikan-percikan kecil masalah atau kesalahpahaman yang datang dapat mereka atasi, semuanya berakhir dengan senyum cinta. Benar-benar di mabuk asmara.
Sampai suatu ketika badai itu datang. Badai yang tak terpikirkan kedatangan nya oleh Ansha Barka. Sudah 8 hari Mila Orthafuncha tidak membalas surat nya. Tidak seperti biasanya Mila telat membalas surat. Ansha Barka terus saja mengirim surat dengan perasaan khawatir, dia takut kehilangan Mila Orthafuncha. Dan balasan surat yang ditunggu itupun datang juga. Begitu sumringah nya Ansha Barka ketika membuka surat itu, dibaca nya dengan khidmat. Wajahnya yang tadi sumringah langsung berubah menjadi murung tak percaya. Begitu terpukul dia setelah membaca balasan surat itu. Surat yang berisi tentang permintaan dari Mila Orthafuncha untuk tidak menyurati dia lagi. Surat yang menyatakan kalau sebenarnya Mila Orthafuncha itu tidak ada dan tidak pernah ada melainkan hanya fiktif belaka. Surat yang menyampaikan bahwa Mila (atau siapapun dia) sudah memiliki kekasih. Surat yang menyatakan perasaan yang selama ini ada hanyalah kepura-puraan. Surat yang menyayat-nyayat hati Ansha Barka. Begitu terpukul dirinya. Tak percaya akan apa yang baru saja dibacanya. Dihempaskan nya tubuh yang tiba-tiba lunglai itu ke kursi empuk yang tiap hari menemani hari-harinya. Pikirannya kalut bak benang kusut. Tak tahu apa yang musti diperbuatnya. Dia merenung, lama sekali, hingga akhirnya memantapkan hati untuk membalas surat itu. Untuk Terakhir kalinya.
Dengan berat hati Ansha Barka menulis surat, surat terakhir yang benar-benar terakhir untuk Mila Orthafuncha (atau siapalah itu), seseorang yang benar-benar dicintainya. Dan ditulisnya lah suarat terakhir itu.
Rasa ini takkan langsung hilang atau lenyap begitu saja.
Meskipun cuma sebentar kau telah memberikan bekas yang amat mendalam di diriku ini.
Jikalau dirimu terganggu dengan keberadaan ku, aku dengan senang hati akan pergi atau bahkan menghilang selamanya.
Meskipun kau bilang semua yang kamu lakukan selama ini terhadapku palsu, tapi aku tak peduli.
Rasa ini tidak bisa dibohongi.
Aneh? anggap saja begitu, kau juga boleh menertawakan ku sepuasnya disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar